Berita TerkiniPemerintahan

Laksamana (P) Tedjo Edi Purdjiatno dan Ketua DPD RI Menjadi Keynote Speech Pada Silatnas Dhipa Adista Justicia

IdentikPos.com, Jakarta – Dhipa Adista Justicia Lawfirm menggelar Silaturahmi Nasional (Silatnas) 2022, di Royal Jade Season City, Jakarta, Sabtu (26/11). Acara yang mengambil tema Potret Penegakan Hukum di Indonesia dihadiri langsung oleh Laksamana (P) Tedjo Edhi Purdjianto, SH.,MH., selaku Pendiri dari DAJ, serta Ketua DPD RI, AA LaNyala M Matality.

Memiliki keprihatinan dan empaty terhadap persoalan hukum yang dinilai masih jauh berkeadilan, Laksamana (P) Tedjo Edi Purdjiatno, S.H., sebagai Pembina dari DAJ menyebut, Silatnas diselenggarakan dengan maksud menyatukan pemahaman hukum dengan harapan dapat menghadirkan rekomendasi yang dapat menjadi referensi bagi setiap aparatur penegak hukum.

“Silatnas 2022 Dhipa Adista Justicia 2022 diadakan dalam rangka menyikapi keprihatinan atas carut marut penegakkan hukum yang ada saat ini, dimana rasa keadilan menjadi suatu barang langka di Indonesia. Sementara organisasi advokat pada hakikatnya merupakan bagian integral dari aparat penegak hukum yang ikut memiliki anggung jawab moral dalam rangka menghadirkan rasa keadilan yang diharapkan masyarakat,” ungkap Laksamana (P) Tedjo Edi Purdjiatno, S.H., saat memberikan sambutannya.

Dimoderatori oleh presenter berita di tv swasta DR. Brigita Manohara, selesai sambutan dari Pendiri dan Pembina DAJ, Laksamana (P) Tedjo Edi Purdjiatno, acara dilnajutkan dengan pemaparan pandangan dari para keynote speech yang memiliki kompetensi dengan bersama untuk membedah secara spesifik persoalan hukum.

“Proses pembusukan ikan yang dimulai dari kepala, dinilai juga telah melanda bangsa ini. Telah ditinggalkannya Pancasila menjadi penyebab hal tersebut. Jika hulu rusak, maka maka hilir pun akan rusak. Pembusukan Indonesia juga dimulai dari hulunya, dari Fundamental Norm-nya, yaitu dengan meninggalkan Pancasila sebagai grondslag bangsa,” ungkap Ketua DPD RI LanNyalla dalam kesempatanya.

Oleh karenanya, LaNyalla mendorong konsensus nasional untuk kembali kepada UUD 1945 naskah asli. Menurutnya, ketika konsensus nasional itu tercapai, Presiden harus melakukan dekrit kembali kepada UUD 1945 naskah asli. Sebagai negara majemuk, LaNyalla menilai Indonesia didesain oleh para pendiri bangsa dengan menggunakan Pancasila sebagai perekat.
“Sehingga sistem demokrasi yang digunakan adalah sistem demokrasi Pancasila, yang identik dengan sistem demokrasi yang berkecukupan,” ujar LaNyalla.

Ciri demokrasi Pancasila menurut LaNyalla adalah seluruh elemen bangsa terwakili di dalam Lembaga Tertinggi Negara, yang bukan saja perwakilan rakyat, tetapi penjelmaan rakyat. “Dalam Lembaga Tinggi negara itu tak hanya diisi partai politik, tetapi juga wakil-wakil dari daerah, dari Sabang sampai Merauke, dan utusan Golongan non-partisan,” katanya.

Begitu pula dengan sistem ekonominya, LaNyalla menilai telah didesain oleh para pendiri bangsa dengan sistem ekonomi Pancasila. “Sebuah sistem ekonomi yang menekankan usaha bersama dengan orientasi kepada kesejahteraan, karena perekonomian disusun atas usaha bersama sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 beserta Penjelasannya,” ujar LaNyalla.

Karut marut Indonesia terjadi ketika bangsa ini melakukan perubahan konstitusi atau amandemen Undang-Undang Dasar 1945 secara brutal, sehingga mengganti hampir 95 persen isi dari Pasal-Pasal Undang-Undang Dasar 1945 naskah Asli.
“Sejak saat itulah kita meninggalkan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi,” tegas LaNyalla.

Konstitusi dipaparkan olehnya, merupakan hasil amandemen 1999-2002 memang masih mencantumkan dasar filsafat negara Pancasila pada naskah Pembukaan di Alinea IV. Namun pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar hasil amandemen tersebut merupakan penjabaran dari ideologi lain, yaitu Liberalisme-Individualisme.

Dijabarkan LaNyalla, sebelum amandemen terjadi, Indonesia sebagai negara telah dilucuti kedaulatannya, termasuk kedaulatan ekonominya, melalui Letter of Intent IMF yang terpaksa ditanda tangani oleh Presiden Soeharto saat itu.

Pada 13 November 1998, MPR melalui Ketetapan MPR Nomor. XVIII/MPR/1998 mencabut Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4 sebagai materi Pendidikan Ideologi yang diterapkan melalui Penataran P4, dengan pertimbangan karena materi muatan dan pelaksanaannya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara.

“Ini adalah awal bangsa ini mulai dipisahkan dari Ideologinya. Awal bangsa ini mulai meninggalkan Pancasila sebagai grondslag dan Staats fundamental norm. Dan ini sangat berbahaya,” tegasnya.

Menurutnya, penghancuran ingatan kolektif suatu bangsa dapat dilakukan dengan metode damai non-militer. Caranya adalah dengan memecah belah persatuan, mempengaruhi, menguasai dan mengendalikan pikiran dan hati warga bangsa, agar tidak memiliki kesadaran, kewaspadaan dan jati diri, serta gagal dalam re-generasi untuk mencapai cita-cita dan Tujuan nasional bangsa tersebut.

Pada kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi Senator asal Lampung Bustami Zainuddin. Hadir di antaranya Pendiri, Ketua Panitia Silatnas 2022, Kombes Pol Purnawirawan Dr Hadi Purnomo, Pakar Komunikasi Politik Profesor Tjipta Lesmana serta Keluarga Besar Dhipa Adista Justicia Indonesia Intelligence Institute dan para Advokat dan Praktisi Hukum Indonesia.

 

 

Pewarta: Didik Prastyawan 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button