DuniaNasionalPolitik

Kisruh KLB Partai Demokrat, Persiapan Karpet Merah Moeldoko atau Strategi Pemerintah untuk Menggerus Oposisi?

Oleh : Gracia Sarah Armadani

 

Permainan isu, itu mungkin yang berada di benak berbagai pihak ketika mendengar isu upaya kudeta Partai Demokrat pada awal Februari lalu. Namun seiring berjalannnya waktu, hal yang awalnya hanya sebuah isu berubah menjadi sebuah kepastian. Pada Jumat, 5 Maret 2021 lalu, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko resmi ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dalam Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Hotel The Hill Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara. Penetapan tersebut dilakukan oleh Jhoni Allen selaku pimpinan sidang KLB meski Moeldoko tidak hadir di ruang sidang. (CNN Indonesia:2021)

Selain ditetapkannya Moeldoko sebagai ketua umum, hasil dari KLB juga memutuskan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) demisioner dari ketua umum. Tak ketinggalan, KLB pun mencabut surat pemecatan kader yang sebelumnya diterbitkan DPP. DPP Demokrat sendiri menganggap KLB di Deli Serdang itu ilegal lantaran tak sesuai dengan AD/ART. Seharusnya, KLB digelar DPP atas persetujuan Ketua Majelis Tinggi yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Kendati fenomena dualisme partai kerap terjadi di Indonesia, status Moeldoko yang merupakan pejabat pemerintah aktif membuat konteksnya menjadi sedikit berbeda. Tekanan ke pemerintah pun berdatangan. Pemerintah yang dalam hal ini khususnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai harus bersikap, misalnya dengan memecat Moeldoko.

Terkait tekanan ini, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD telah memberi penegasan. Sama seperti dulu sikap Presiden Megawati Soekarnoputri dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tidak mengintervensi dualism PKB, pemerintahan Jokowi juga akan bersikap demikian (Media Indonesia:2021). Moeldoko juga ikut membela diri dengan meminta agar tidak melibatkan istana dalam hal ini Presiden Jokowi meski dirinya menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan.

Namun, Pengamat Politik Universitas Al-Azhar, Ujang Komaruddin menyoroti peran Istana dalam kudeta Partai Demokrat yang dilakukan Moeldoko. Menurut dia, Istana mustahil tidak mengetahui rencana Moeldoko tersebut. Namun Istana terkesan menutup mata terkait kudeta Demokrat. Padahal, istana dalam hal ini Presiden Jokowi bisa saja menghentikan langkah Moeldoko sehingga kudeta itu sendiri tidak akan mungkin terjadi. (Media Indonesia:2021)

Meskipun melalui kisruh yang bergulir dalam internal partai Demokrat itu sendiri, kubu KLB pun pada akhirnya tetap menyerahkan hasil KLB dua pekan pasca KLB tersebut kepada pemerintah agar segera disahkan. Namun, pada 31 Maret 2021, akhirnya diputuskan bahwa Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) secara resmi menolak hasil KLB yang diketuai Moeldoko. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Menkumham Yasonna Laoly dalam konferensi pers daring yang didampingi Mahfud MD selaku Menko Polhukam. Dengan penolakan ini, Partai Demokrat secara resmi masih dipimpin Ketua Umum AHY hasil Kongres 2020, didampingi ayahnya SBY selaku Ketua Majelis Tinggi Partai. (CNN Indonesia:2021)

Terlepas dari penolakan hasil KLB oleh pemerintah, apabila kita membahas fenomena politik dalam skala yang lebih luas, apakah aksi kudeta yang dilakukan Moeldoko hanya semata kepentingan internal Partai Demokrat untuk menggulingkan AHY demi mengakhiri politik dinasti? Atau justru ada tujuan yang lebih besar dibalik aksinya yang merupakan “Strategi dari istana”?

Persiapan Karpet Merah

Mengutip Andri Wang dalam buku The Art of War: Menelusuri Strategi dan Taktik Perang ala Sun Zi, dalam bab “Taktik Menyerang”, ada nasihat Sun Tzu yang begitu menarik. “Orang yang pandai berperang akan mampu mengalahkan musuh tanpa perang.” tulisnya. Dalam konteks perebutan kekuasaan politik, nasihat Sun Tzu tersebut dapat kita lihat dalam strategi Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) sejak 2015 lalu.

Untuk memuluskan langkahnya menjadi Raja Arab Saudi, MBS disebut membungkam dan menyingkirkan pesaing dan lawan politiknya. Dua yang paling fenomenal adalah penahanan Pangeran Ahmed bin Abdul Aziz dan Pangeran Mohammed bin Nayef. Keduanya ditahan untuk diinterogasi karena diduga telah melakukan pengkhianatan. Menariknya, Raja Salman bin Abdul Aziz juga disebut ikut membantu melicinkan langkah anaknya tersebut. (Pinter Politik:2021)

Jika kita membuka pandangan politik dengan skala yang lebih luas dalam memandang Pilpres 2024, ada kemungkinan terdapat pihak yang sedang menggunakan nasihat Sun Tzu dan strategi MBS, dimana kandidat-kandidat yang berpotensi maju di Pilpres 2024 akan ‘dihancurkan’ sedari dini. Lalu, kenapa AHY menjadi target awal? Sederhana, karena ia merupakan target yang dinilai cukup mudah. Dan jika benar strategi menyiapkan karpet merah tengah dilakukan saat ini, kita dapat melihat dalangnya pada sosok yang tidak begitu diserang dalam satu atau dua tahun ke depan. Namun, jika mengacu pada nasihat Sun Tzu bahwa perang adalah tipu muslihat, ada kemungkinan sosok tersebut juga akan diserang sebagai strategi kamuflase.

Namun, dengan ditolaknya hasil KLB oleh pemerintah, asumsi ini kemudian menjadi abu-abu. Terdapat dua pandangan, pertama, apakah ini merupakan kelanjutkan strategi kelanjutan yang memang disiapkan oleh Moeldoko meskipun tidak berhasil menjadikan partai Demokrat sebagai kendaraan politiknya untuk 2024 nanti dan hanya merupakan bentuk “teguran” untuk AHY agar tidak mencalonkan diri pada pilpres 2024? Kedua, apakah dari awal ini memang merupakan sebuah pengalihan isu yang direstui oleh istana untuk strategi yang lebih besar nantinya?

Strategi Menggerus Oposisi

Dengan fakta saat ini hanya tinggal PKS dan partai Demokrat yang menjadi oposisi pemerintah, tentu mudah dipersepsikan oleh publik bahwa pemerintahan Jokowi dianggap berniat membungkan suara kritik dari kelompok oposisi seperti yang terjadi di era Orde Baru. Hal ini juga menimbulkan spekulasi bahwa sikap diam pemerintah terkesan ‘merestui’, karena juga ingin memperkecil jumlah oposisi pemerintah. Menurut wartawan asing John McBeth dalam analisisnya seperti yang dikutip dari Asia Times pada 9 Maret 2021, juga menyatakan bahwa aksi Moeldoko merebut Demokrat ialah upaya pemerintah yang hendak menguasai suara di DPR. Dengan dipimpin Moeldoko, Demokrat serta-merta menjadi anggota koalisi pemerintah dan siap digunakan untuk mendukung segala kebijakan pemerintah.

Menurut McBeth, hal itu akan dibutuhkan pemerintahan Presiden Jokowi untuk mengejar ambisi politiknya lewat berbagai proyek infrastruktur yang dipercaya bakal menjadi daya ungkit perekenomian Indonesia ke depan. McBeth menuturkan motif selanjutya bisa saja upaya penguasaan Demokrat digunakan untuk mengamankan tujuan amendemen UUD 1945 yang di antaranya pernah diwacanakan untuk mengembalikan GBHN di dalamnya sebagai arah pembangunan nasional. Kemudian, menurut McBeth, manuver yang dilakukan Moeldoko juga bisa dimaknai bertujuan untuk mengendalikan Demokrat guna menyetujui wacana tiga periode masa jabatan presiden agar Jokowi bisa tetap menjabat pada periode 2024-2029. Menurut McBeth, motif-motif tersebut bermunculan lantaran Presiden Jokowi tak menanggapi langsung aksi anak buahnya berupa pemecatan. Selain itu, ada juga yang meminta agar Moeldoko segera dipecat yaitu mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie. Jimly meminta pemerintah atau Presiden Jokowi bisa langsung memecat Moeldoko dari jabatannya sebagai KSP pemerintah tetap netral dalam menyikapi kisruh yang terjadi di Partai Demokrat. (Kumparan:2021)

Lebih menarik lagi, kasus yang saat ini menimpa Partai Demokrat dapat kita temukan komparasinya dengan manuver Recep Tayyip Erdogan di Turki. Erdogan disebut menerapkan strategi melemahkan oposisi untuk melanggengkan kekuasaannya stelah terjadi upaya kudeta pada tahun 2016. Berbagai upaya dipercaya dilakukan, yang umumnya membuat banyak anggota partai oposisi harus berurusan dengan hukum. Mulai dari penangkapan 11 anggota parlemen Peoples’ Democratic party (HDP) dengan tuduhan terorisme, hingga kader Republican People’s Party (CHP) yang mengaku mendapat intimidasi karena bersikap keras pada proses voting. Hasilnya, parlemen meloloskan rencana referendum konstitusi Turki. Itu membuat Erdogan dapat maju sebagai Presiden Turki untuk periode ketiga.

Dalam teori demokrasi, kisruh KLB Demokrat ini dapat dikatakan sebagai indikasi kemunduran demokrasi di Indonesia. Namun kemunduran demokrasi yang dimaksud disini adalah Fenomena Pendulum (gelombang naik dan turun) yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century.

Fenomena Pendulum demokrasi ini pada satu titik tertentu dapat berayun kembali menuju rezim otoritarianisme, bahkan bisa di negara-negara yang mempraktikkan demokrasi liberal. Liberalisme yang saat ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari demokrasi tengah menghadapi ketidakpuasan, yang mungkin telah menciptakan persepsi untuk meninggalkan demokrasi itu sendiri.

Dapat disimpulkan bahwa upaya kudeta Partai Demokrat adalah bagian dari dinamika demokrasi yang memang selalu berada di atas gelombang yang terkadang naik dan turun. Selain itu, akan lebih baik jika pemerintah juga mengambil sikap dalam menindaklanjuti perbuatan Moeldoko. Karena, perbuatan Moeldoko selaku Kepala Staf Kepresidenan itu telah menodai nama Pemerintah dan Presiden Jokowi. Dan menurut saya, jika Moeldoko tetap dipertahankan dalam pemerintahan, maka spekulasi-spekulasi yang telah dibahas diatas akan menjadi terbukti.

 

Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana, Departemen Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button