IdentikPos.com, Lampung Barat – Kabupaten Lampung Barat kini genap berusia 34 tahun. Keunikan daerah ini terletak pada statusnya sebagai kabupaten konservasi, di mana hanya sekitar 43% dari total luas wilayahnya yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan, pertanian, dan permukiman. Sisanya berupa hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan kawasan konservasi yang harus dijaga kelestariannya.
Konservasi sebagai identitas, bukanlah beban, karena status konservasi sering kali dipahami sebagai beban: ruang terbatas untuk eksploitasi sumber daya, investasi yang enggan masuk karena regulasi ketat, atau keterbatasan lahan untuk ekspansi industri. Tetapi, perspektif ini jelas keliru. Konservasi justru adalah identitas sekaligus modal pembangunan. Dengan branding sebagai kabupaten konservasi, Lampung Barat seharusnya tampil sebagai pionir ekowisata, pertanian organik, hingga riset keanekaragaman hayati.
Sayangnya, potensi ini belum terkelola maksimal. Ekowisata masih bersifat sporadis, infrastruktur penunjang wisata terbatas, promosi budaya nyaris sekedar seremonial, dan investasi pendidikan lingkungan belum menjadi arus utama. Padahal, dunia kini tengah bergerak menuju ekonomi hijau, dan Lampung Barat memiliki semua bahan baku untuk masuk ke arus tersebut.
Demikian juga dengan kearifan lokal yang merupakan modal sosial namun sering terkesampingkan padahal mayoritas penduduk asli Lampung Barat masih memegang teguh adat istiadat dan kearifan lokal. Prinsip hidup seperti praktik gotong royong dalam komunitas, adalah modal sosial yang berharga untuk membangun tata kehidupan yang inklusif. Dalam konteks pembangunan, nilai-nilai ini bisa dijadikan basis partisipasi masyarakat, penguatan ekonomi kreatif berbasis budaya, hingga mitigasi konflik agraria. Dari perspektif pembangunan berkelanjutan (sustainable development), kearifan lokal seharusnya menjadi modal sosial penting yang memungkinkan masyarakat tidak hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai subjek aktif dalam pembangunan.
Pertanyaannya, sudahkah kebijakan pembangunan telah menjadikan kearifan lokal sebagai variable kontekstual yang dihargai? Terkadang ia hanya dijadikan pelengkap dalam acara seremonial HUT Kabupaten. Padahal, di era otonomi daerah, sebuah kabupaten mestinya berani melahirkan berbagai inovasi demi kemajuan daerahnya. Sementara. sumber daya manusia akademis, aktivis lingkungan, dan komunitas adat di Lampung Barat cukup banyak. Hanya saja, kemauan politik (political will) untuk menjadikannya sebagai mitra strategis masih dipertanyakan.
Meski pembangunan telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade, tetapi masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Beberapa tantangan utama yang masih dihadapi Lampung Barat selain terbatasnya wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan fisik dan ekonomi, kondisi geografis dan infrastruktur yang sulit sehingga pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas publik membutuhkan biaya tinggi dan waktu yang lama. Sejumlah wilayah terpencil masih minim layanan publik, sehingga masyarakat belum optimal merasakan dampak pembangunan secara signifikan.
Masalah klasik lainnya adalah keterbatasan kapasitas dan sumber daya pemerintah yakni anggaran daerah terbatas, dan koordinasi antar-instansi sering terkendala birokrasi, sehingga implementasi program pembangunan menjadi lambat. Dan yang tak kalah penting adalah pelestarian budaya dan kearifan lokal, pembangunan yang tidak sensitif terhadap adat dan budaya lokal dapat menimbulkan konflik sosial.
Menghadapi bebagai tantangan tersebut beberapa kegiatan perlu dipertimbangkan antara lain: Pembangunan berbasis kearifan lokal; libatkan masyarakat setempat secara aktif dalam perencanaan dan implementasi proyek, sehingga pembangunan berjalan selaras dengan budaya dan norma lokal. Laksanakan pembangunan inklusif dan prioritaskan wilayah yang fokus pada daerah yang paling membutuhkan layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, dengan pendekatan bertahap sesuai kapasitas wilayah.
Optimalisasi potensi ekonomi lokal dengan mengembangkan sektor ekonomi berbasis konservasi, seperti ekowisata, pertanian berkelanjutan, dan produk unggulan lokal. Hal ini sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa merusak lingkungan. Inovasi infrastruktur ramah lingkungan yang menggunakan teknologi yang hemat biaya dan ramah lingkungan, misalnya jalan tanah stabil atau jembatan ringan di pegunungan, untuk mengurangi dampak ekologis.
Perlu peningkatan kapasitas pemerintah dan tata kelola; dengan memperkuat koordinasi lintas-instansi, gunakan data dan pemetaan wilayah secara digital, serta terapkan monitoring dan evaluasi berbasis bukti untuk efektivitas pembangunan. Sosialisasi dan pendidikan lingkungan; Tingkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi dan pembangunan berkelanjutan melalui program pendidikan formal dan informal, serta riset kolaboratif dengan universitas dan lembaga penelitian.
Acara ulang tahun Kabupaten Lampung Barat ke-34 tidak hanya menjadi momentum perayaan, tetapi juga ajang refleksi atas perjalanan pembangunan dan pencapaian daerah. Harapan besar ditujukan pada terwujudnya kabupaten yang maju, mandiri, dan berbudaya, sejalan dengan tagline: “Berbudaya Menuju Lampung Barat Setia.” Tagline ini bukan sekadar slogan, tetapi menjadi pijakan bagi seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha—dalam mengintegrasikan nilai budaya lokal dengan strategi pembangunan modern.
Pembangunan yang maju tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kualitas layanan publik, pemerataan kesejahteraan, dan inovasi berbasis kearifan lokal. Kemandirian daerah menuntut Lampung Barat untuk mengoptimalkan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, serta kreativitas warganya dalam membangun ekonomi lokal yang berkelanjutan. Sementara itu, aspek berbudaya menjadi fondasi yang memperkuat identitas daerah dan memupuk rasa memiliki terhadap tanah kelahiran, sekaligus menjaga agar modernisasi tidak mengikis nilai-nilai luhur masyarakat Lampung Barat. Pembangunan yang sejati bukan sekadar membangun infrastruktur fisik, tetapi juga memberdayakan masyarakat, menghormati budaya lokal, dan melestarikan alam agar konservasi, budaya, dan pembangunan berjalan seiring, menuju kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata.